Apa Katanya?
“Wahai perempuan secerah terik, siang ini kelabu. Seakan langit berkabung ingin menumpah tangis sederasnya. Adakah sendu merangkul pundakmu?”
“Salam
bagimu, laki-laki teduh. Tidak selalu langit kelabu pertanda hujan. Tidak selalu
mentari berkawan dengan terik. Entahlah, seperti halnya menebak
langit abu-abu, tidak ada hal yang pasti.”
“Mendung tak selalu sama,
nona. Terlihat kesedihan bersamanya. Seperti halnya guntur, awan, dan kilat seakan
berkolaborasi mengganggu mentari. Ataukah hari ini mentari mengalah, pasrah
tanpa perlawanan?”
“Tidak semua
hal tentang ganggu-mengganggu, tuan. Ada kalanya di dunia ini hal-hal yang harus
berjalan semestinya. Seperti sebuah siklus yang teratur, seperti roda yang
berbaur. Lagi pula, tidak ada kolaborasi yang jahat, itu konspirasi namanya.”
“Begitukah? Apakah berarti mendung, lamunmu dan aku berkonspirasi mengganggumu? Beranikah bertaruh, hujan akan
datang. Disambut meriah oleh kilat, dengan aduan awan yang melahirkan guntur .
Demi pelangi, berminatkah nona berkisah?”
“Aku tau hujan
lekas bersiap, aku hanya menolak mengakuinya. Hujan melahirkan bah, bagai sebuah
kapal, bah menelanjangi pertahananku yang goyah.”
“Tak ada pertahanan yang goyah, bila
kapalmu adalah kapal yang siap, nona.”
“Kapalku terlihat kokoh, berdiri membelah
lautan. Menyusuri samudera, tak tahu tujuan, tak tahu labuhan. Pulau hanyalah fatamorgana
belaka. Aku merana menatap jangkar yang tak kunjung mengecup dasar lautan.
Adakah labuhan untukku?
“Selalu ada pelabuhan untuk setiap
kapal. Nona, bumi ini bulat, kemanapun berlayar kau akan menemukan daratan.
Hanya perkara waktu dan pertahananmu saja.”
“Kapalku
bergegas lapuk, tuan. Akan sama saja dengan karam. Bahkan karena bumi ini
bulat, aku takut kembali ke titik yang sama.”
“Ini siapa? Dia lagi?”
“Iya. Siapa
lagi.”
“Ada masanya kau mesti pahami. Bukan
kapalmu yang karam, mungkin labuhanmu yang gersang. Seperti halnya menanam di
tanah keras, benihmu tak berbuah. Ia tidak menyediakan air ketika dahagamu
datang.”
“Maksudnya?”
“Tak melulu hidupmu selalu
tentangnya, nona.”
“Cinta
membutakan. Kau tahu? Ini memalukan.”
“Seperti halnya cuaca, sedikit hujan
tidak masalah. Tapi ingat mentari, ia menghalau langit kelabu. Bukankah
seharusnya begitu?”
“ Aku tahu. Juga
tak selamanya hujan menawarkan sendu.
Tak selamanya menyimpan kabung.”
“ Tapi biarkanlah hujan hari ini
menderu deras, biar air mengisi tanah-tanah retak yang dibakar kemarau. Dan
aroma khas jalanan menyeruak sehabis
dihantam hujan. Biar air menyegarkan yang gersang, biar air mengusir gelapnya
asa yang malang.”
“Malang? Sedih amat. Nggak semerana itu juga
sih.”
“ Seperti cuaca buruk, banyak hal
di luar kendali kita. Kebanyakan orang sibuk menyesalinya, bukan menyiasatinya.”
“Sedia payung
sebelum hujan, gitu?”
“Klise, non. Terbangkan payungmu.
Rasakan bulir-bulir menjentik jemarimu. Membentuk riak, membasuh kemaraumu.
Hujan bukanlah hal yang harus selalu kau hindari.”
“Kenapa curhat
selalu berakhir dengan debat?”
“Harus ada seseorang yang melawan
keras kepalamu, nona.”
“Hanya keras
kepala, bukan keras hati. Langit mulai cerah, silau mentari kembali merentang.
Terima kasih tuan karena sudah bertanya.”
“Kau mentari, aku hujan. Kita
melahirkan pelangi, bukan?”
Hanya beberapa
digit kilometer jarak merentang. Masing-masing setengah mendengarkan studi, tersenyum akan jemari yang sedari tadi menari-nari pada layar digital. Berpangku
dagu sambil menatap dinding kaca yang basah. Dingin yang kaku, dingin yang
malu.
Aku merindukannya. Menutup mentari, membagi
hangatnya temaram. Mengingatkanku tentang semua tawa kami di
masa sekolah. Diam-diam menoreh rona, walau tau hanya hembusan angin fana. Laki-laki dan perempuan, tak bisakah hanya murni berteman?Dilema tugas dialogis/
0 komentar: