Apa Katanya?

5:05:00 AM Jourkynta 0 Comments



“Wahai  perempuan secerah terik, siang ini kelabu. Seakan langit berkabung ingin menumpah tangis sederasnya. Adakah sendu merangkul pundakmu?”
“Salam bagimu, laki-laki teduh. Tidak selalu langit kelabu pertanda hujan. Tidak selalu mentari berkawan dengan terik. Entahlah, seperti halnya menebak langit abu-abu, tidak ada hal yang pasti.”


“Mendung tak selalu sama, nona. Terlihat kesedihan bersamanya. Seperti halnya guntur, awan, dan kilat seakan berkolaborasi mengganggu mentari. Ataukah hari ini mentari mengalah, pasrah tanpa perlawanan?”

“Tidak semua hal tentang ganggu-mengganggu, tuan. Ada kalanya di dunia ini hal-hal yang harus berjalan semestinya. Seperti sebuah siklus yang teratur, seperti roda yang berbaur. Lagi pula, tidak ada kolaborasi yang jahat, itu konspirasi namanya.”

“Begitukah? Apakah berarti mendung, lamunmu dan aku berkonspirasi mengganggumu? Beranikah bertaruh, hujan akan datang. Disambut meriah oleh kilat, dengan aduan awan yang melahirkan guntur . Demi pelangi, berminatkah nona berkisah?”      
   
“Aku tau hujan lekas bersiap, aku hanya menolak mengakuinya. Hujan melahirkan bah, bagai sebuah kapal, bah menelanjangi pertahananku yang goyah.”

“Tak ada pertahanan yang goyah, bila kapalmu adalah kapal yang siap, nona.”

 “Kapalku terlihat kokoh, berdiri membelah lautan. Menyusuri samudera, tak tahu tujuan, tak tahu labuhan. Pulau hanyalah fatamorgana belaka. Aku merana menatap jangkar yang tak kunjung mengecup dasar lautan. Adakah labuhan untukku? 

“Selalu ada pelabuhan untuk setiap kapal. Nona, bumi ini bulat, kemanapun berlayar kau akan menemukan daratan. Hanya perkara waktu dan pertahananmu saja.”

“Kapalku bergegas lapuk, tuan. Akan sama saja dengan karam. Bahkan karena bumi ini bulat, aku takut kembali ke titik yang sama.”

“Ini siapa? Dia lagi?”

“Iya. Siapa lagi.”

“Ada masanya kau mesti pahami. Bukan kapalmu yang karam, mungkin labuhanmu yang gersang. Seperti halnya menanam di tanah keras, benihmu tak berbuah. Ia tidak menyediakan air ketika dahagamu datang.”

“Maksudnya?”

“Tak melulu hidupmu selalu tentangnya, nona.”

“Cinta membutakan. Kau tahu? Ini memalukan.”

“Seperti halnya cuaca, sedikit hujan tidak masalah. Tapi ingat mentari, ia menghalau langit kelabu. Bukankah seharusnya begitu?”

“ Aku tahu. Juga tak selamanya hujan menawarkan sendu.  Tak selamanya menyimpan kabung.”

“ Tapi biarkanlah hujan hari ini menderu deras, biar air mengisi tanah-tanah retak yang dibakar kemarau. Dan aroma khas jalanan menyeruak sehabis dihantam hujan. Biar air menyegarkan yang gersang, biar air mengusir gelapnya asa yang malang.”

 “Malang? Sedih amat. Nggak semerana itu juga sih.”

“ Seperti cuaca buruk, banyak hal di luar kendali kita. Kebanyakan orang sibuk menyesalinya, bukan menyiasatinya.”

“Sedia payung sebelum hujan, gitu?”

“Klise, non. Terbangkan payungmu. Rasakan bulir-bulir menjentik jemarimu. Membentuk riak, membasuh kemaraumu. Hujan bukanlah hal yang harus selalu kau hindari.”

“Kenapa curhat selalu berakhir dengan debat?”
“Harus ada seseorang yang melawan keras kepalamu, nona.”
“Hanya keras kepala, bukan keras hati. Langit mulai cerah, silau mentari kembali merentang. Terima kasih tuan karena sudah bertanya.”
“Kau mentari, aku hujan. Kita melahirkan pelangi, bukan?”

Hanya beberapa digit kilometer jarak merentang. Masing-masing setengah mendengarkan studi, tersenyum akan jemari yang sedari tadi menari-nari pada layar digital. Berpangku dagu sambil menatap dinding kaca yang basah. Dingin yang kaku, dingin yang malu.
      Aku merindukannya. Menutup mentari, membagi hangatnya temaram. Mengingatkanku tentang semua tawa kami di masa sekolah. Diam-diam menoreh rona, walau tau hanya hembusan angin fana. Laki-laki dan perempuan, tak bisakah hanya murni berteman?




Dilema tugas dialogis/

You Might Also Like

0 komentar: