Senjakala Wayang Orang Bharata
“Lalu bagaimana Bharata tetap
bertahan di tengah modernisasi ini, Pak? Memangnya pendapatan yang diterima
cukup?” tanyanya kepada pria paruh baya itu. Si bapak membalas dengan senyuman
dan gelengan kepala, sembari bersiap menjelaskan.
Pada satu kawasan ibu kota, sebuah gedung pertunjukan tua masih berdiri tegap memesona. Bersaing dengan benderangnya reklame-reklame sekitar, tulisan megah “Bharata Purwa” terpampang unik di salah satu deretan ruko Jalan Kalilio yang tak jauh dari Terminal Bus Senen. Ukiran kayu jati menghiasi kiri kanan pintu masuk dalam penjagaan dua patung Dwaralapa yang identik dengan bangunan khas Jawa. Dari pintu masuk, lukisan dinding tiga dimensi Pandawa dan beberapa tokoh wayang lainnya menyambut kedatangan para pengunjung yang datang. Aroma dari wewangian ala jawa menyeruak dari sekeliling ruangan, menoreh memori siapapun yang kembali datang. Belok kiri sedikit, terdapat loket tiket yang dijaga oleh seorang bapak. Harga jual tiket pertunjukan wayang orang terbilang cukup terjangkau. Ada beragam kelas, antaralain : kelas VIP yang dipatok seharga 60 ribu, kelas satu 50 ribu, dan balkon di lantai dua dihargai 40 ribu rupiah. Sebelum masuk ke gedung pertunjukan, para pengunjung disambut oleh beberapa orang berseragam batik, sambil berkata "Monggo, sugeng rawuh (silakan, selamat datang),". Seorang wanita parah baya merobek tiket masuk, yang disusul kedatangan seorang wanita lain yang mengantarkan pengunjung menuju kursi yang telah dipilihnya. Masuk ke ruang pertunjukkan, deretan kursi-kursi merah memenuhi ruangan. Kursinya terbuat dari kayu dengan ukiran khas dipinggirannya. Kesan klasik dengan aksen jawa masih terasa kental, apalagi sebuah panggung besar bertirai senada menjulang menjadi jantung ruangan.
Pada satu kawasan ibu kota, sebuah gedung pertunjukan tua masih berdiri tegap memesona. Bersaing dengan benderangnya reklame-reklame sekitar, tulisan megah “Bharata Purwa” terpampang unik di salah satu deretan ruko Jalan Kalilio yang tak jauh dari Terminal Bus Senen. Ukiran kayu jati menghiasi kiri kanan pintu masuk dalam penjagaan dua patung Dwaralapa yang identik dengan bangunan khas Jawa. Dari pintu masuk, lukisan dinding tiga dimensi Pandawa dan beberapa tokoh wayang lainnya menyambut kedatangan para pengunjung yang datang. Aroma dari wewangian ala jawa menyeruak dari sekeliling ruangan, menoreh memori siapapun yang kembali datang. Belok kiri sedikit, terdapat loket tiket yang dijaga oleh seorang bapak. Harga jual tiket pertunjukan wayang orang terbilang cukup terjangkau. Ada beragam kelas, antaralain : kelas VIP yang dipatok seharga 60 ribu, kelas satu 50 ribu, dan balkon di lantai dua dihargai 40 ribu rupiah. Sebelum masuk ke gedung pertunjukan, para pengunjung disambut oleh beberapa orang berseragam batik, sambil berkata "Monggo, sugeng rawuh (silakan, selamat datang),". Seorang wanita parah baya merobek tiket masuk, yang disusul kedatangan seorang wanita lain yang mengantarkan pengunjung menuju kursi yang telah dipilihnya. Masuk ke ruang pertunjukkan, deretan kursi-kursi merah memenuhi ruangan. Kursinya terbuat dari kayu dengan ukiran khas dipinggirannya. Kesan klasik dengan aksen jawa masih terasa kental, apalagi sebuah panggung besar bertirai senada menjulang menjadi jantung ruangan.
Kursi-kursi dari baris depan hingga
belakang sudah dipenuhi para penonton. Beberapa warga keturunan asing juga
duduk menanti pertunjukkan berlangsung. Terlihat pula dua orang laki-laki dan
perempuan berseliweran menawarkan dan mengantarkan makanan yang telah dipesan.
Di Bharata ini, penonton bisa memesan makanan sembari menonton pertunjukannya.
Ketoprak, sate, nasi goreng, dan aneka minuman kaki lima lainnya dapat
dijajakan untuk mengganjal perut dengan harga terjangkau. Di depan panggung, kumpulan
pemain musik, lengkap dengan setelah merah, batik, dan blangkon sudah bersiap
di depan alat yang akan dimainkan.
Penyinden berkebaya dan konde juga sudah duduk berbaris, siap melantunkan
suara bernada meliuk-liuk ala lagu-lagu jawa. Gending gamelan bertempo cepat
dan kencang akhirnya terlantun bersama instrumen tradisional lain, menandakan
pertunjukkan akan segera dimulai. Lampu sorot mulai menyala, bersiap menunggu
tirai merah yang akan terbuka. Rombongan penari perempuan kemudian muncul dari
sisi kiri panggung disertai iringan musik yang seirama dengan gerakannya. Selendang-selendang
biru dan merah bergantian mewarnai panggung, cantik dengan kemilau kilap dari
hiasan kepala penari yang terpantul cahaya. Gerakan tangan dan kaki yang luwes
menghidupkan panggung, menyambut penonton untuk terlibat dalam cerita yang akan
disajikan. Kemudian selendang-selendang tadi digantikan dengan kipas-kipas
etnik yang akhirnya mengantar penari kembali ke sisi panggung mengakhiri
rangkaian tarian. Sebuah papan running
text menuliskan “Setyaki Kromo” dengan laser merah, dan berakhir dengan
tirai yang tertutup.
Sekumpulan
lakon laki-laki berwajah merah datang
bersamaan ketika tirai kembali dibuka. Melakukan gerakan-gerakan sepadan
bertempo lebih cepat dari sebelumnya, yang disusul dengan kemunculan Prabu Kolo
Kurombyako dari Kerajaan Swalabumi dengan taring dan kumis panjang yang
menjuntai. Beberapa penonton menafsirkannya sebagai “Rahwana” sambil
menunjuk-nunjuk lakon yang sedang berlaga tersebut. Seluruh pertunjukkan
dilakukan dengan menggunakan Bahasa Jawa. Supaya semua penonton dapat mengerti
jalan ceritanya, papan running text terus
menampilkan garis besar cerita dalam Bahasa Indonesia. Sesuai dengan penggalan
kata “Kromo” yang berarti perkawinan dari judul Setyaki Kromo, secara garis
besar, pewayangan ini bercerita mengenai tokoh wayang Setyaki yang sedang
mencari seorang putri. Ditengah-tengah
pementasan, para Punakawan muncul untuk menghibur penonton dengan jenakaan
berbahasa jawa. Pada bagian ini, interaksi antara lakon dan penonton berjalan
dengan baik. Penonton bisa mengirimkan pesan dan berduet menyanyikan lagu jawa.
“Lha iki ono pesen seko Joko, seng sak iki
lagek nonton. Yoo matursuwun wes dateng nggih. (Ya, ini ada pesan dari Joko
yang saat ini sedang nonton. Yo terimakasih sudah datang, ya.),” ujar salah
satu Punakawan dengan kuncir panjang di belakang. Kemudian aksi Kuartet
Punakawan ini ditutup dengan lagu “Perahu Layar” yang dinyanyikan bersama-sama
dengan para penonton. Masih berlanjut, adegan penyerangan terhadap negara
Lesanpura dilakukan Setelah
tokoh utama mendapatkan gadisnya, cerita pewayangan akhirnya berakhir dan tirai
pun ditutup.
Yang Bertahan di Jakarta
Bila dibandingkan dengan pertunjukkan opera, drama, maupun
teater yang lebih modern dan dekat dengan cerita keseharian masyarakat masa
kini, mungkin Wayang Orang Bharata (Bhawa Rasa Tala) akan sedikit mundur dari
barisan ketenaran. Saat
ini, Bharata menjadi salah satu dari tiga paguyuban Wayang Orang yang masih
bertahan. Dua diantaranya berada di kota Yogyakarta dan Solo. Wayang Orang
Bharata yang berada di Jakarta menjadi sentral atas keberlangsungan tradisi kesenian wayang
orang. se-Indonesia dan telah melakukan pementasan sejak tahun 1972. Menurut
Marsam Mulyo Atmojo, Pimpinan Paguyuban Wayang Orang Bharata, Berdirinya
Kelompok Kesenian Wayang Orang Bharata tak dapat dilepaskan dari keberadaan
kelompok Kesenian wayang orang Panca Murti yang telah ada sejak tahun 1963.
Gedung Bharata Purwa |
Gedung Bharata Purwa ini juga telah mengalami
pemugaran pada tahun 1999 sampai dengan 2005. Karena itu, mereka sempat vakum
selama kurang lebih enam tahun. Menurut salah satu sutradara
pentas Bharata, Darianto Supono, dulu wayang orang Bharata pentas setiap hari, namun karena ada pembenahan dari pihak
Pemda DKI, maka diubah menjadi seminggu sekali. Sejak awal, orientasi
pementasan di tempat ini sebagai pelestarian budaya. Pemain musik pun rata-rata
adalah para anggota tetap yang sudah bergabung sejak lama. Bahkan mereka sudah
terbiasa bermain
secara spontan dan mampu mengikuti gerakan di setiap adegan yang sedang
diperagakan. Banyak orangtua
yang masih mengabdi di sana selama bertahun-tahun, namun juga ada yang baru
bergabung tanpa kenal usia. Salah satunya Bu Salidi, pemain
alat musik Peking yang sudah sepuh dan telah bergabung selama empat tahun. “Ya inilah hidup untuk seni,” kata
Supono.
Sebelum
pertunjukkan, sehari-hari mereka biasanya mempersiapkan diri dengan melakukan
latihan. Koreografi adegan, tarian, dialog, maupun musik yang akan dimainkan.
Di samping panggung, para pemudi memelajari gerakan tarian bersama sesepuh,
sedangkan para pemudanya mempersiapkan koreografi adegan di panggung. Awalnya beberapa
pelakon senior lebih dulu bersiap diri kemudian para pelakon baru menyusul. Tak
jarang para junior meminta bantuan untuk membuat lukisan wajah yang dirasa
sulit. Sahut-sahutan guyonan khas jawa
juga sering terlontar, ditambah pecahan tawa yang ramah mampu meramaikan
suasana ruangan yang memang sudah padat.
Kelincahan Bharata
Kwartet Punakawan |
Untuk
menarik penonton datang, pihak Bharata biasanya tidak melakukan banyak usaha. Promosi
biasanya dari mulut ke mulut, kadang juga karena penonton senang untuk datang
kembali menyaksikan pertunjukan wayang orang. Usaha untuk memertahankan Wayang Orang
Bharata selain dari pihak internal, peran pecinta seni juga turut membantu.
Tidak hanya sekadar dukungan moral, bantuan subsidi pun juga sering diberikan.
Setiap tahun biasanya diberi Tunjangan Hari Raya (THR), parsel, sembako dan
bantuan lainnya. Bharata sudah terdiri dari lima generasi yang turun
temurun. Akibat keberhasilan regenerasi
ini, Wayang Orang Bharata mendapat rekor dari MURI. Dari pihak luar, warga
sekitar juga tertarik untuk ikut bergabung menjadi bagian keluarga besar Wayang
Orang Bharata. Kecintaan anak-anak yang
bergabung terhadap wayang mungkin menular karena kerap diajak untuk melihat
pertunjukan oleh para orang tua, kadang mereka juga ikut menemani orang tuanya
yang sedang pentas. Tak hanya itu, nantinya inovasi seperti wayang anak,
remaja, dan kesepuhan yang akan dilakukan, mungkin mampu menarik minat orang
luar.
Cerita
yang dimainkan oleh Wayang Orang Bharata tentulah banyak. Bisa saja dalam
setahun ada pengulangan cerita tapi dengan ulasan yang berbeda. Ada drama
fanatik seperti Mahabarata dan Ramayana, namun masing-masing memiliki versi
yang berbeda-beda seperti Siswasayan, Mangkunegara, dan Kasunan. Dasarnya, para
penonton menyukai pementasan dengan tokoh-tokoh terkenal seperti Arjuna, Gatot
Kaca, Pandawa, dan lainnya. Namun, salah satu
strategi yang diterapkan Wayang Orang Bharata, yakni malah menghilangkan wayang
primadona. Wayang Orang Bharata juga tidak pernah melakukan promosi di media
massa untuk menarik pengunjung. Hal ini untuk mengantisipasi bludakan penonton
yang ditakutkan tidak seimbang dengan kapasitas gedungnya. Cerita-cerita
yang dipentaskan sudah mengalami modifikasi, yakni dikilas dengan pemotongan
durasi disertai tarian supaya penonton tidak punah dan bosan. Memang karakter
penonton berbeda-beda. Ada yang suka gerak, dialog, percintaan, maupun perang,
sehingga adanya penggarapan pola-pola yang beragam perlu dilakukan supaya lebih
menarik.
Wayang
Bharata mendapat pengakuan menjadi wayang orang terbaik di dunia, salah satunya
dari pihak UNESCO. Beberapa pementasan di luar negeri seperti Perancis, Opera
House Sydney, dan menjadi pengisi acara di acara PBB pada tahun 2012. Supono
juga mengatakan, bahwa pihak luar negeri mengakui Indonesia memiliki seniman
yang bermartabat tinggi. Menurutnya pula, sesuai pengalamannya membawa nama
Bharata sejak 1982 ke Jerman, Perancis, Belanda, Irak, Thailand, Australia, maupun
India, Indonesia memiliki cerita Ramayana yang paling menarik. Ramayana
Indonesia menjadi ratunya pewayangan yang disukai penonton di dunia. Masalah biaya,
biasanya ada pihak-pihak yang membantu mensponsori. Salah satunya, perusahaan
Jaya Suprana, perusahaan jamu tertua di Indonesia.
Jiwa dalam Perangkap Realita
Kesuksesan
atas masa gemilang, tidak mampu menutup perjuangan keras yang sudah banyak
dilalui. Wayang Orang Bharata juga mengalami krisis penonton dan terseok dengan
perekonomian yang mencekik. Saat ini, setiap pementasan biasanya kursi penonton
hampir terisi penuh, terkadang juga tiket habis tanpa sisa. Rata-rata yang
datang sekitar hampir dua ratusan orang saja, karena gedung pementasan yang
kecil tidak mumpuni menampung penontonnya. Namun, dalam beberapa waktu, Bharata sempat mengalami sepi penonton. Bahkan
pernah hanya ada dua penonton, dan dua-duanya tertidur. Sungguh menjadi situasi
yang tidak menyenangkan dan sulit. Walau begitu, mereka tetap memainkan peran
dengan apik dan maksimal. Biasanya, sepi penonton disebabkan karena penonton
tidak menyukai lakonnya. Bila hal ini terus berlanjut, maka mereka akan
mengalami kerugian. Dulu Bharata juga
sempat tayang di TVRI, namun baru sepuluh kali tayang, ternyata tidak kembali
dilanjutkan. “Ya namanya rezeki, kita
tidak ada yang tau,” tambah Supono.
Pertanyaan
seperti “Lalu bagaimana Bharata tetap
bertahan di tengah modernisasi ini, Pak? Memangnya pendapatan yang diterima
cukup?” seringkali dipertanyakan oleh banyak pihak. Semua hal akhirnya akan
berbalik pada tujuan, yakni untuk melestarikan budaya. “Kalo dilihat dari honornya ya minim sekali, dibawah UMR. Kalau
diceritakan memalukan sekali,” jelasnya. Kontribusi yang diberikan dari
Pemda DKI Jakarta yakni perawatan gedung,
subsidi lampu, air, listrik, dan pajak. Bantuan dari pihak pemerintah sangat
memudahkan dan berarti untuk kelangsungan Bharata. Masalah keuangan jelas
menjadi kendala. Honor para pemain hanya didapat dari penjualan tiket dan subsidi
untuk semua anggota yang mencapai hampir
dua ratusan orang. Para pemain harus tetap mendapatkan haknya, maka dari itu jika
tiket tidak terjual terpaksa harus mengambil uang kas untuk menutupinya.
Padahal, gaji yang didapat tidak seberapa. Para pemain kebanyakan memiliki pekerjaan tambahan.
Sebanyak sepuluh persen saja yang menjadi PNS, sisanya hanya menjadi pekerja
kasar, pembantu, maupun penjual makanan. Selain itu, beberapa dari mereka juga
kerap kali mendapat tambahan dari panggilan pekerjaan yang masih berhubungan
dengan seni dan peran.
Dedikasi Tanpa Batas
Anak-anak
muda bertanggung jawab untuk meneruskan perjuangan yang sudah dilakukan
generasi-generasi sebelumnya. Para
pemuda dan pemudi Bharata biasanya lebih semangat dalam mengembangkan inovasi
dan mereka rajin meminta senior untuk membentuk pola pementasannya. Mereka
menjadi cahaya utama keberlangsungan Wayang Orang Bharata. Dengan menerima
panggilan dari acara luar, mereka membawa nama Bharata semakin dikenal oleh
banyak orang. “Tanpa dibarengi rasa cinta budaya dalam jiwanya, ya nggak bisa,”
tegas Supono.
Dengan subsidi yang
tidak banyak, para pemain mengerjakan sendiri kostum dan properti untuk
mendukung pementasannya. Penjualan tiket yang tidak mampu menutup pengeluaran, menyebabkan
uang kas pun mengalami defisit. Yunus, selaku pengurus tiket bercerita, bahwa harga tiket sebenarnya terlampau murah untuk sebuah
pertunjukan wayang orang yang membutuhkan keterampilan khusus dan perlengkapan yang
wah. Walau begitu, pihaknya tak berani menaikkan harga tiket karena takut
kehilangan banyak pelanggan. Bagaimana pemain dapat hidup dengan uang terbatas,
menjadi bentuk nyata pengabdian para pemain Bharata untuk melestarikan budaya
wayang orang. Kalau bukan kami, siapa lagi?
0 komentar: