Senjakala Wayang Orang Bharata

1:24:00 PM Jourkynta 0 Comments


“Lalu bagaimana Bharata tetap bertahan di tengah modernisasi ini, Pak? Memangnya pendapatan yang diterima cukup?” tanyanya kepada pria paruh baya itu. Si bapak membalas dengan senyuman dan gelengan kepala, sembari bersiap menjelaskan.
Pada satu kawasan ibu kota, sebuah gedung pertunjukan tua masih berdiri tegap memesona. Bersaing dengan benderangnya reklame-reklame sekitar, tulisan megah “Bharata Purwa” terpampang unik di salah satu deretan ruko Jalan Kalilio yang tak jauh dari Terminal Bus Senen. Ukiran kayu jati menghiasi kiri kanan pintu masuk dalam penjagaan dua patung Dwaralapa yang identik dengan bangunan khas Jawa. Dari pintu masuk, lukisan dinding tiga dimensi Pandawa dan beberapa tokoh wayang lainnya menyambut kedatangan para pengunjung yang datang.  Aroma dari wewangian ala jawa menyeruak dari sekeliling ruangan, menoreh memori siapapun yang kembali datang. Belok kiri sedikit, terdapat loket tiket yang dijaga oleh seorang bapak. Harga jual tiket pertunjukan wayang orang terbilang cukup terjangkau. Ada beragam kelas, antaralain : kelas VIP yang dipatok seharga  60 ribu, kelas satu 50 ribu, dan balkon di lantai dua dihargai  40 ribu rupiah.  Sebelum masuk ke gedung pertunjukan, para pengunjung disambut oleh beberapa orang berseragam batik, sambil berkata "Monggo, sugeng rawuh (silakan, selamat datang),". Seorang wanita parah baya merobek tiket masuk, yang disusul kedatangan seorang wanita lain yang mengantarkan pengunjung menuju kursi yang telah dipilihnya. Masuk ke ruang pertunjukkan, deretan kursi-kursi merah memenuhi ruangan.  Kursinya terbuat dari kayu dengan ukiran khas dipinggirannya. Kesan klasik dengan aksen jawa masih terasa kental, apalagi sebuah panggung besar bertirai senada menjulang menjadi jantung ruangan. 
            Kursi-kursi dari baris depan hingga belakang sudah dipenuhi para penonton. Beberapa warga keturunan asing juga duduk menanti pertunjukkan berlangsung. Terlihat pula dua orang laki-laki dan perempuan berseliweran menawarkan dan mengantarkan makanan yang telah dipesan. Di Bharata ini, penonton bisa memesan makanan sembari menonton pertunjukannya. Ketoprak, sate, nasi goreng, dan aneka minuman kaki lima lainnya dapat dijajakan untuk mengganjal perut dengan harga terjangkau. Di depan panggung, kumpulan pemain musik, lengkap dengan setelah merah, batik, dan blangkon sudah bersiap di depan alat yang akan dimainkan.  Penyinden berkebaya dan konde juga sudah duduk berbaris, siap melantunkan suara bernada meliuk-liuk ala lagu-lagu jawa. Gending gamelan bertempo cepat dan kencang akhirnya terlantun bersama instrumen tradisional lain, menandakan pertunjukkan akan segera dimulai. Lampu sorot mulai menyala, bersiap menunggu tirai merah yang akan terbuka. Rombongan penari perempuan kemudian muncul dari sisi kiri panggung disertai iringan musik yang seirama dengan gerakannya. Selendang-selendang biru dan merah bergantian mewarnai panggung, cantik dengan kemilau kilap dari hiasan kepala penari yang terpantul cahaya. Gerakan tangan dan kaki yang luwes menghidupkan panggung, menyambut penonton untuk terlibat dalam cerita yang akan disajikan. Kemudian selendang-selendang tadi digantikan dengan kipas-kipas etnik yang akhirnya mengantar penari kembali ke sisi panggung mengakhiri rangkaian tarian. Sebuah papan running text menuliskan “Setyaki Kromo” dengan laser merah, dan berakhir dengan tirai yang tertutup.

Sekumpulan lakon laki-laki  berwajah merah datang bersamaan ketika tirai kembali dibuka. Melakukan gerakan-gerakan sepadan bertempo lebih cepat dari sebelumnya, yang  disusul dengan kemunculan Prabu Kolo Kurombyako dari Kerajaan Swalabumi dengan taring dan kumis panjang yang menjuntai. Beberapa penonton menafsirkannya sebagai “Rahwana” sambil menunjuk-nunjuk lakon yang sedang berlaga tersebut. Seluruh pertunjukkan dilakukan dengan menggunakan Bahasa Jawa. Supaya semua penonton dapat mengerti jalan ceritanya, papan running text terus menampilkan garis besar cerita dalam Bahasa Indonesia. Sesuai dengan penggalan kata “Kromo” yang berarti perkawinan dari judul Setyaki Kromo, secara garis besar, pewayangan ini bercerita mengenai tokoh wayang Setyaki yang sedang mencari seorang putri. Ditengah-tengah pementasan, para Punakawan muncul untuk menghibur penonton dengan jenakaan berbahasa jawa. Pada bagian ini, interaksi antara lakon dan penonton berjalan dengan baik. Penonton bisa mengirimkan pesan dan berduet menyanyikan lagu jawa. “Lha iki ono pesen seko Joko, seng sak iki lagek nonton. Yoo matursuwun wes dateng nggih. (Ya, ini ada pesan dari Joko yang saat ini sedang nonton. Yo terimakasih sudah datang, ya.),” ujar salah satu Punakawan dengan kuncir panjang di belakang. Kemudian aksi Kuartet Punakawan ini ditutup dengan lagu “Perahu Layar” yang dinyanyikan bersama-sama dengan para penonton. Masih berlanjut, adegan penyerangan terhadap negara Lesanpura dilakukan Setelah tokoh utama mendapatkan gadisnya, cerita pewayangan akhirnya berakhir dan tirai pun ditutup.


Yang Bertahan di Jakarta
Bila dibandingkan dengan pertunjukkan opera, drama, maupun teater yang lebih modern dan dekat dengan cerita keseharian masyarakat masa kini, mungkin Wayang Orang Bharata (Bhawa Rasa Tala) akan sedikit mundur dari barisan ketenaran.  Saat ini, Bharata menjadi salah satu dari tiga paguyuban Wayang Orang yang masih bertahan. Dua diantaranya berada di kota Yogyakarta dan Solo. Wayang Orang Bharata yang berada di Jakarta menjadi sentral  atas keberlangsungan tradisi kesenian wayang orang. se-Indonesia dan telah melakukan pementasan sejak tahun 1972. Menurut Marsam Mulyo Atmojo, Pimpinan Paguyuban Wayang Orang Bharata, Berdirinya Kelompok Kesenian Wayang Orang Bharata tak dapat dilepaskan dari keberadaan kelompok Kesenian wayang orang Panca Murti yang telah ada sejak tahun 1963. 

Gedung Bharata Purwa

Gedung Bharata Purwa ini juga telah mengalami pemugaran pada tahun 1999 sampai dengan 2005. Karena itu, mereka sempat vakum selama kurang lebih enam tahun. Menurut salah satu sutradara pentas Bharata, Darianto Supono, dulu wayang orang Bharata pentas  setiap hari, namun karena ada pembenahan dari pihak Pemda DKI, maka diubah menjadi seminggu sekali. Sejak awal, orientasi pementasan di tempat ini sebagai pelestarian budaya. Pemain musik pun rata-rata adalah para anggota tetap yang sudah bergabung sejak lama. Bahkan mereka sudah terbiasa bermain secara spontan dan mampu mengikuti gerakan di setiap adegan yang sedang diperagakan. Banyak orangtua yang masih mengabdi di sana selama bertahun-tahun, namun juga ada yang baru bergabung tanpa kenal usia. Salah satunya Bu Salidi, pemain alat musik Peking yang sudah sepuh dan telah bergabung selama empat tahun. “Ya inilah hidup untuk seni,” kata Supono.

Ibu Salidi memainkan Peking
Sebelum pertunjukkan, sehari-hari mereka biasanya mempersiapkan diri dengan melakukan latihan. Koreografi adegan, tarian, dialog, maupun musik yang akan dimainkan. Di samping panggung, para pemudi memelajari gerakan tarian bersama sesepuh, sedangkan para pemudanya mempersiapkan koreografi adegan di panggung. Awalnya beberapa pelakon senior lebih dulu bersiap diri kemudian para pelakon baru menyusul. Tak jarang para junior meminta bantuan untuk membuat lukisan wajah yang dirasa sulit. Sahut-sahutan guyonan  khas jawa juga sering terlontar, ditambah pecahan tawa yang ramah mampu meramaikan suasana ruangan yang memang sudah padat.

Kelincahan Bharata
Kwartet Punakawan
Untuk menarik penonton datang, pihak Bharata biasanya tidak melakukan banyak usaha. Promosi biasanya dari mulut ke mulut, kadang juga karena penonton senang untuk datang kembali menyaksikan pertunjukan wayang orang. Usaha untuk memertahankan Wayang Orang Bharata selain dari pihak internal, peran pecinta seni juga turut membantu. Tidak hanya sekadar dukungan moral, bantuan subsidi pun juga sering diberikan. Setiap tahun biasanya diberi Tunjangan Hari Raya (THR), parsel, sembako dan bantuan lainnya. Bharata sudah terdiri dari lima generasi yang turun temurun.  Akibat keberhasilan regenerasi ini, Wayang Orang Bharata mendapat rekor dari MURI. Dari pihak luar, warga sekitar juga tertarik untuk ikut bergabung menjadi bagian keluarga besar Wayang Orang Bharata. Kecintaan anak-anak yang bergabung terhadap wayang mungkin menular karena kerap diajak untuk melihat pertunjukan oleh para orang tua, kadang mereka juga ikut menemani orang tuanya yang sedang pentas. Tak hanya itu, nantinya inovasi seperti wayang anak, remaja, dan kesepuhan yang akan dilakukan, mungkin mampu menarik minat orang luar.
Cerita yang dimainkan oleh Wayang Orang Bharata tentulah banyak. Bisa saja dalam setahun ada pengulangan cerita tapi dengan ulasan yang berbeda. Ada drama fanatik seperti Mahabarata dan Ramayana, namun masing-masing memiliki versi yang berbeda-beda seperti Siswasayan, Mangkunegara, dan Kasunan. Dasarnya, para penonton menyukai pementasan dengan tokoh-tokoh terkenal seperti Arjuna, Gatot Kaca, Pandawa, dan lainnya. Namun, salah satu strategi yang diterapkan Wayang Orang Bharata, yakni malah menghilangkan wayang primadona. Wayang Orang Bharata juga tidak pernah melakukan promosi di media massa untuk menarik pengunjung. Hal ini untuk mengantisipasi bludakan penonton yang ditakutkan tidak seimbang dengan kapasitas gedungnya. Cerita-cerita yang dipentaskan sudah mengalami modifikasi, yakni dikilas dengan pemotongan durasi disertai tarian supaya penonton tidak punah dan bosan. Memang karakter penonton berbeda-beda. Ada yang suka gerak, dialog, percintaan, maupun perang, sehingga adanya penggarapan pola-pola yang beragam perlu dilakukan supaya lebih menarik.
Wayang Bharata mendapat pengakuan menjadi wayang orang terbaik di dunia, salah satunya dari pihak UNESCO. Beberapa pementasan di luar negeri seperti Perancis, Opera House Sydney, dan menjadi pengisi acara di acara PBB pada tahun 2012. Supono juga mengatakan, bahwa pihak luar negeri mengakui Indonesia memiliki seniman yang bermartabat tinggi. Menurutnya pula, sesuai pengalamannya membawa nama Bharata sejak 1982 ke Jerman, Perancis, Belanda, Irak, Thailand, Australia, maupun India, Indonesia memiliki cerita Ramayana yang paling menarik. Ramayana Indonesia menjadi ratunya pewayangan yang disukai penonton di dunia. Masalah biaya, biasanya ada pihak-pihak yang membantu mensponsori. Salah satunya, perusahaan Jaya Suprana, perusahaan jamu tertua di Indonesia.

Jiwa dalam Perangkap Realita
Kesuksesan atas masa gemilang, tidak mampu menutup perjuangan keras yang sudah banyak dilalui. Wayang Orang Bharata juga mengalami krisis penonton dan terseok dengan perekonomian yang mencekik. Saat ini, setiap pementasan biasanya kursi penonton hampir terisi penuh, terkadang juga tiket habis tanpa sisa. Rata-rata yang datang sekitar hampir dua ratusan orang saja, karena gedung pementasan yang kecil tidak mumpuni menampung penontonnya. Namun, dalam beberapa waktu,  Bharata sempat mengalami sepi penonton. Bahkan pernah hanya ada dua penonton, dan dua-duanya tertidur. Sungguh menjadi situasi yang tidak menyenangkan dan sulit. Walau begitu, mereka tetap memainkan peran dengan apik dan maksimal. Biasanya, sepi penonton disebabkan karena penonton tidak menyukai lakonnya. Bila hal ini terus berlanjut, maka mereka akan mengalami kerugian.  Dulu Bharata juga sempat tayang di TVRI, namun baru sepuluh kali tayang, ternyata tidak kembali dilanjutkan. “Ya namanya rezeki, kita tidak ada yang tau,” tambah Supono.
Pertanyaan seperti “Lalu bagaimana Bharata tetap bertahan di tengah modernisasi ini, Pak? Memangnya pendapatan yang diterima cukup?” seringkali dipertanyakan oleh banyak pihak. Semua hal akhirnya akan berbalik pada tujuan, yakni untuk melestarikan budaya. “Kalo dilihat dari honornya ya minim sekali, dibawah UMR. Kalau diceritakan memalukan sekali,” jelasnya. Kontribusi yang diberikan dari Pemda DKI  Jakarta yakni perawatan gedung, subsidi lampu, air, listrik, dan pajak. Bantuan dari pihak pemerintah sangat memudahkan dan berarti untuk kelangsungan Bharata. Masalah keuangan jelas menjadi kendala. Honor para pemain hanya didapat dari penjualan tiket dan subsidi untuk semua anggota yang mencapai  hampir dua ratusan orang. Para pemain harus tetap mendapatkan haknya, maka dari itu jika tiket tidak terjual terpaksa harus mengambil uang kas untuk menutupinya. Padahal, gaji yang didapat tidak seberapa. Para pemain  kebanyakan memiliki pekerjaan tambahan. Sebanyak sepuluh persen saja yang menjadi PNS, sisanya hanya menjadi pekerja kasar, pembantu, maupun penjual makanan. Selain itu, beberapa dari mereka juga kerap kali mendapat tambahan dari panggilan pekerjaan yang masih berhubungan dengan seni dan peran.

Dedikasi Tanpa Batas

 Perjuangan panjang yang dilalui menjadi sebuah bentuk dedikasi. Mewujudkan pelestarian budaya menjadi sebuah misi yang harus dipenuhi, untuk menghalau kepunahan. Dedikasi tanpa passion yang kuat tidak akan mampu menopang segala perjalanan yang perlu ditempuh.
Anak-anak muda bertanggung jawab untuk meneruskan perjuangan yang sudah dilakukan generasi-generasi sebelumnya.  Para pemuda dan pemudi Bharata biasanya lebih semangat dalam mengembangkan inovasi dan mereka rajin meminta senior untuk membentuk pola pementasannya. Mereka menjadi cahaya utama keberlangsungan Wayang Orang Bharata. Dengan menerima panggilan dari acara luar, mereka membawa nama Bharata semakin dikenal oleh banyak orang.  “Tanpa dibarengi rasa cinta budaya dalam jiwanya, ya nggak bisa,” tegas Supono.

Dengan subsidi yang tidak banyak, para pemain mengerjakan sendiri kostum dan properti untuk mendukung pementasannya. Penjualan tiket yang tidak mampu menutup pengeluaran, menyebabkan uang kas pun mengalami defisit. Yunus, selaku pengurus tiket bercerita, bahwa harga tiket sebenarnya terlampau murah untuk sebuah pertunjukan wayang orang yang membutuhkan keterampilan khusus dan perlengkapan yang wah. Walau begitu, pihaknya tak berani menaikkan harga tiket karena takut kehilangan banyak pelanggan. Bagaimana pemain dapat hidup dengan uang terbatas, menjadi bentuk nyata pengabdian para pemain Bharata untuk melestarikan budaya wayang orang. Kalau bukan kami, siapa lagi?

You Might Also Like

0 komentar: